Hampir Putus Sekolah, Pemuda Ini Mendirikan Sekolah untuk Anak Pemulung
Sudah dua kali saya mengunjungi kampung itu. Di kali kedua, reaksi saya masih sama dengan kali pertama menginjakkan kaki di sana. Bau menyengat! Ini bukan karena bau kampung itu, tapi karena sambutan gundukan sampah yang menyapa dari bibir kampung. Ya, kampung ini berdekatan langsung dengan TPA setempat.


Zakatin Official
NEWS
·
21 Februari 2020 16:39
Hampir Putus Sekolah, Pemuda Ini Mendirikan Sekolah untuk Anak Pemulung
Konten ini diproduksi oleh Zakatin Official

Zakatin.com
Sudah dua kali saya mengunjungi kampung itu. Di kali kedua, reaksi saya masih sama dengan kali pertama menginjakkan kaki di sana. Bau menyengat! Ini bukan karena bau kampung itu, tapi karena sambutan gundukan sampah yang menyapa dari bibir kampung. Ya, kampung ini berdekatan langsung dengan TPA setempat.
ADVERTISEMENT
Hari itu, tahun 2016, saya sedang mencari anak-anak pemulung untuk program yang sedang saya kerjakan. Bersyukur, seorang rekan di kantor ternyata aktif di lembaga kemanusiaan untuk anak-anak pemulung. Dialah yang mempertemukan saya dengan anak-anak pemulung yang di Kawasan itu.
“Fiuuh… lumayan PR ya, Mas, buat ngarahin mereka. He-he,” ujar saya di tengah proses briefing anak-anak pemulung tersebut.
“Ini udah mendingan, Mbak. Dulu mereka susah banget diajak komunikasi. Mereka kan awalnya banyak yang enggak sekolah,” terangnya.
Obrolan singkat itu membuka gerbang pembicaraan kami, tentang apa yang teman saya perjuangkan melalui lembaga yang turut dia dirikan itu. Rupanya kisah hidupnyalah yang menggiring niatnya membantu anak-anak pemulung itu.
“Saya dulunya juga pernah berhenti sekolah, Mbak. Malah pernah jadi kuli bangunan juga. Makanya saya tahu rasa enggak enaknya putus sekolah. Masa depan pendidikan mereka kan, bisa jadi pemutus rantai kemiskinan keluarga.”
Zakatin Official
NEWS
·
21 Februari 2020 16:39
Hampir Putus Sekolah, Pemuda Ini Mendirikan Sekolah untuk Anak Pemulung
Konten ini diproduksi oleh Zakatin Official

Zakatin.com
Sudah dua kali saya mengunjungi kampung itu. Di kali kedua, reaksi saya masih sama dengan kali pertama menginjakkan kaki di sana. Bau menyengat! Ini bukan karena bau kampung itu, tapi karena sambutan gundukan sampah yang menyapa dari bibir kampung. Ya, kampung ini berdekatan langsung dengan TPA setempat.
ADVERTISEMENT
Hari itu, tahun 2016, saya sedang mencari anak-anak pemulung untuk program yang sedang saya kerjakan. Bersyukur, seorang rekan di kantor ternyata aktif di lembaga kemanusiaan untuk anak-anak pemulung. Dialah yang mempertemukan saya dengan anak-anak pemulung yang di Kawasan itu.
“Fiuuh… lumayan PR ya, Mas, buat ngarahin mereka. He-he,” ujar saya di tengah proses briefing anak-anak pemulung tersebut.
“Ini udah mendingan, Mbak. Dulu mereka susah banget diajak komunikasi. Mereka kan awalnya banyak yang enggak sekolah,” terangnya.
Obrolan singkat itu membuka gerbang pembicaraan kami, tentang apa yang teman saya perjuangkan melalui lembaga yang turut dia dirikan itu. Rupanya kisah hidupnyalah yang menggiring niatnya membantu anak-anak pemulung itu.
“Saya dulunya juga pernah berhenti sekolah, Mbak. Malah pernah jadi kuli bangunan juga. Makanya saya tahu rasa enggak enaknya putus sekolah. Masa depan pendidikan mereka kan, bisa jadi pemutus rantai kemiskinan keluarga.”
ADVERTISEMENT
Semua bermula di tahun 2013. Saat itu, dia masih kuliah di salah satu universitas swasta ternama di Jakarta. Awalnya, dia hanya memperhatikan anak-anak pemulung yang sering lewat di depan Masjid Al-Ikhlas, Jati Padang. Lalu dalam hatinya timbul keserahan, kalau anak-anak itu meninggalkan sekolah, bagaimana nasib mereka ke depan?
Dia pun berinisiatif mengajar anak-anak itu di Taman Salam, Jati Padang. Awalnya, dia bergerak seorang diri, hingga pikiran tentang kelanjutan aktivitas ini mengusiknya. Dia tak mau kegiatan mengajar ini sirna seiring dengan kesibukannya kelak. Karena itu, dia mengajak beberapa teman di kampusnya untuk mengajar anak-anak pemulung itu.
Tak disangka, respon anak-anak sangat membahagiakan. Tiap hari, makin bertambah jumah anak yang mau belajar. Dari lima anak, terus bertambah jadi puluhan jumlahnya. Namun, hal itu tak seirama dengan kesiapan SDM pengajar. Sistem kerelawanan membuat jadwal mengajar kadang terisi, kadang tidak. Padahal, semangat anak-anak malah terus meningkat.
Hingga akhirnya, dia pun menggagas sekolah formal dengan mendirikan PAUD Harapan. Kali ini, sistem yang digunakan sudah profesional, sehingga anak-anak pun bisa terbina dengan baik, tanpa bergantung dengan relawan. Untuk menutup kebutuhan PAUD, teman saya dan timnya mencari sumber dana dari patungan dan donasi ke lingkungan sekitar.
Seusai pendirian PAUD, tercetuslah ide mendirikan yayasan untuk memudahkan tata kelola komunitas yang kala itu bernama KAISA (Komunitas Pecinta dan Pemerhati Anak Bangsa). Keseriusannya membawa KAISA ke arah lebih baik, membuat saya semakin ingin tahu, sebenarnya apa yang ingin dia perjuangkan ke depan?
“Bayangkan, Mbak, anak-anak pemulung itu kalau enggak sekolah, ya dipaksa harus jadi pemulung. Kadang mereka enggak berani pulang ke rumah kalau belum dapat uang. Kalau pun sudah di rumah, mereka juga enggak menerima kehangatan keluarga. Lengkap sudah, masa kecil anak-anak itu terenggut. Ditambah lagi masa depannya juga terancam suram.”


Zakatin Official
NEWS
·
21 Februari 2020 16:39
Hampir Putus Sekolah, Pemuda Ini Mendirikan Sekolah untuk Anak Pemulung
Konten ini diproduksi oleh Zakatin Official

Zakatin.com
Sudah dua kali saya mengunjungi kampung itu. Di kali kedua, reaksi saya masih sama dengan kali pertama menginjakkan kaki di sana. Bau menyengat! Ini bukan karena bau kampung itu, tapi karena sambutan gundukan sampah yang menyapa dari bibir kampung. Ya, kampung ini berdekatan langsung dengan TPA setempat.
ADVERTISEMENT
Hari itu, tahun 2016, saya sedang mencari anak-anak pemulung untuk program yang sedang saya kerjakan. Bersyukur, seorang rekan di kantor ternyata aktif di lembaga kemanusiaan untuk anak-anak pemulung. Dialah yang mempertemukan saya dengan anak-anak pemulung yang di Kawasan itu.
“Fiuuh… lumayan PR ya, Mas, buat ngarahin mereka. He-he,” ujar saya di tengah proses briefing anak-anak pemulung tersebut.
“Ini udah mendingan, Mbak. Dulu mereka susah banget diajak komunikasi. Mereka kan awalnya banyak yang enggak sekolah,” terangnya.
Obrolan singkat itu membuka gerbang pembicaraan kami, tentang apa yang teman saya perjuangkan melalui lembaga yang turut dia dirikan itu. Rupanya kisah hidupnyalah yang menggiring niatnya membantu anak-anak pemulung itu.
“Saya dulunya juga pernah berhenti sekolah, Mbak. Malah pernah jadi kuli bangunan juga. Makanya saya tahu rasa enggak enaknya putus sekolah. Masa depan pendidikan mereka kan, bisa jadi pemutus rantai kemiskinan keluarga.”
ADVERTISEMENT
Semua bermula di tahun 2013. Saat itu, dia masih kuliah di salah satu universitas swasta ternama di Jakarta. Awalnya, dia hanya memperhatikan anak-anak pemulung yang sering lewat di depan Masjid Al-Ikhlas, Jati Padang. Lalu dalam hatinya timbul keserahan, kalau anak-anak itu meninggalkan sekolah, bagaimana nasib mereka ke depan?
Dia pun berinisiatif mengajar anak-anak itu di Taman Salam, Jati Padang. Awalnya, dia bergerak seorang diri, hingga pikiran tentang kelanjutan aktivitas ini mengusiknya. Dia tak mau kegiatan mengajar ini sirna seiring dengan kesibukannya kelak. Karena itu, dia mengajak beberapa teman di kampusnya untuk mengajar anak-anak pemulung itu.
Tak disangka, respon anak-anak sangat membahagiakan. Tiap hari, makin bertambah jumah anak yang mau belajar. Dari lima anak, terus bertambah jadi puluhan jumlahnya. Namun, hal itu tak seirama dengan kesiapan SDM pengajar. Sistem kerelawanan membuat jadwal mengajar kadang terisi, kadang tidak. Padahal, semangat anak-anak malah terus meningkat.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya, dia pun menggagas sekolah formal dengan mendirikan PAUD Harapan. Kali ini, sistem yang digunakan sudah profesional, sehingga anak-anak pun bisa terbina dengan baik, tanpa bergantung dengan relawan. Untuk menutup kebutuhan PAUD, teman saya dan timnya mencari sumber dana dari patungan dan donasi ke lingkungan sekitar.
Seusai pendirian PAUD, tercetuslah ide mendirikan yayasan untuk memudahkan tata kelola komunitas yang kala itu bernama KAISA (Komunitas Pecinta dan Pemerhati Anak Bangsa). Keseriusannya membawa KAISA ke arah lebih baik, membuat saya semakin ingin tahu, sebenarnya apa yang ingin dia perjuangkan ke depan?
“Bayangkan, Mbak, anak-anak pemulung itu kalau enggak sekolah, ya dipaksa harus jadi pemulung. Kadang mereka enggak berani pulang ke rumah kalau belum dapat uang. Kalau pun sudah di rumah, mereka juga enggak menerima kehangatan keluarga. Lengkap sudah, masa kecil anak-anak itu terenggut. Ditambah lagi masa depannya juga terancam suram.”
ADVERTISEMENT
Sebelum saya bertanya kenapa masa depan anak-anak itu terancam suram. Dia, teman saya itu menambahkan, keluarga pemulung di kampung itu rata-rata sudah memulung dari turun temurun. Pola pikir mereka sudah terbentuk dari pendahulunya, pendidikan bukanlah hal terpenting untuk anak-anak.
“Saya pernah didatangi bos pemulung sambil bawa golok dan marah-marah karena saya mengajak anak-anak belajar, sampai mereka jadi enggak mulung lagi. Bos pemulung itu khawatir kalau penghasil
“Ada murid kami Namanya Fahrel. Dia anak pertama dengan tiga adik yang semuanya berbeda ayah. Ibunya beberapa kali nikah-cerai. Fahrel yang baru berusia delapan tahun pun harus jadi tulang punggung keluarga. Mau enggak mau, Fahrel harus tetap memulung, bahkan bisa sampai pukul 23.00 malam. Biasanya, dia mulung sehabis pulang sekolah,” terangnya, melegakan hati saya.
Saya melihat sendiri foto Fahrel di akun media sosial KAISA yang kini sudah berubah nama jadi Gemilang Indonesia. Di foto itu, saya melihat Fahrel memakai seragam merah putih dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Menurutnya, Fahrel selalu rajin sekolah, meski kadang dia tak bisa menahan kantuk di kelas.
“Fahrel selalu bilang gini ke kami, Fahrel harus jadi anak yang baik, tidak nakal dan berbagi kepada teman. Dia sendiri yang menegaskan sikap dan prinsip hidupnya. Kami tahu betul bagaimana Fahrel berusaha menjaga adik-adiknya, salah satu dengan beliin baju di bazaar kami. Kami salut dengan perjuangannya.” Lanjut cerita teman saya tentang Fahrel.
Saya lalu kepikiran. Bisa jadi selama ini saya pernah berpapasan langsung dengan bocah-bocah seperti Fahrel, bahkan dengan Fahrel sendiri. Tetapi, saya tidak pernah benar-benar bergerak, mewujudkan kepedulian lewat aksi nyata seperti teman saya. Meski dalam hati terdalam, ingin sekali rasanya bisa melakukan sesuatu untuk mereka.
Posting Komentar untuk "Hampir Putus Sekolah, Pemuda Ini Mendirikan Sekolah untuk Anak Pemulung"