Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keluarga, bagi kebanyakan orang adalah segalanya. Tempat berkeluh kesah, tempat kita bergantung, tempat kita berbagi dan tempat kita untuk pulang. Tempat kita diterima dengan tangan terbuka, apa adanya tanpa kita perlu untuk berpura-pura.

Keluarga, bagi kebanyakan orang adalah segalanya. Tempat berkeluh kesah, tempat kita bergantung, tempat kita berbagi dan tempat kita untuk pulang. Tempat kita diterima dengan tangan terbuka, apa adanya tanpa kita perlu untuk berpura-pura.

Banyak orang yang mengklaim bahwa ibunyalah ibu nomor satu di dunia. Ayahnyalah contoh teladanyang dipanutinya. Dan saudaranyalah orang yang paling mengerti dirinya, dan lain sebagainya. Sangat berarti dan bernilai, tak tergantikan.

Tapi itu semua tidak berarti buatku. Karena bagiku, keluargaku adalah teman-temanku. Keluargaku adalah orang terasing melebihi orang asing itu sendiri. Tak kukenal. Tak ada yang kusayangi. Bukan tempatku untuk berbagi dan merasakan indahnya kasih sayang.

Aku terlahir dari rahim seorang ibu yang mempunyai banyak anak. Saudaraku ada lima, dengan aku berada di urutan nomor empat. Ayahku sudah lama almarhum, bahkan aku sudah tidak ingat lagi wajah dan rupa ayahku.

Dikelilingi dengan banyak saudara, seharusnya aku merasa bahagia. Banyak tempatku untuk berkeluh kesah menggantikan sosok figur ayah yang tak lagi kuingat. Tetapi yang ada, kami semua bagikan orang asing antara satu dengan yang lain. Tak ada tegur sapa, hambar tak mengenal tawa ceria kebahagiaan.

Aku sangat menyayangi ibuku, karena ibulah satu-satunya orang yang masih memperhatikanku, saat kakak-kakakku yang lain sibuk dengan urusannya masing-masing, dan adik kecilku sibuk untuk bersikap manja menuntut perhatian. Kakak-kakakku hanya memperhatikan tumbuh kembang adikku, yang sangat menggemaskan dengan sikap caper sok innocentnya. Tak mau untuk ikut sibuk mengurusi apa yang kurasakan.

Tetapi cinta kasih ibukupun juga sama. Bahkan kalau aku boleh bilang, ibu lebih memperhatikan keperluan kakak-kakakku dan adikku. Aku tak menyalahkan ibu, karena ibu haruslah membagi perhatiannya menjadi lima sama besar. Dan seringnya aku dinomorsekiankan, karena ibu beranggapan aku matang secara emosional dibandingkan dengan saudaraku yang lain. Lebih terkontrol dan lebih bisa menahan diri, menerima setiap penundaan.

Tetapi yang tidak beliau tahu adalah, jauh di lubuk hatiku aku merasa iri, dengki dan benci dengan saudaraku yang lain. Kakak laki-lakiku lebih sering untuk bermain diluar dibandingkan untuk menjagaku. Kakak perempuanku lebih banyak berhias diri dari pada mengajakku bermain. Dan adikkupun juga lebih sibuk untuk menangis dan merengek menuntut perhatian dari semuanya.

Hanya kakak laki-lakiku yang nomor dualah yang kurasa cukup dekat denganku. Dengannya aku bisa mengobrol tentang banyak hal. Dari Kak Bayulah aku sedikit mengenal cinta dan perhatian. Meski kadang kami berdua sibuk bertengkar untuk berargumen bahwa semuanya juga menyayangiku. Yang tentu saja argumen Kak Bayu hanya kudengar sambil lalu. Dia kan dekat dengan semuanya, sedangkan aku sama sekali berbeda dengannya.

Ya, inilah aku. Keluargaku tak ada yang memperhatikanku. Aku menutup diri pada mereka. Bukan karena aku tidak menyayangi mereka, tetapi lebih tepat karena mereka lebih bisa menyayangi satu sama lainnya dibanding denganku yang cuma bisa diam membisu. Tentu ada sedikit pengecualian untuk ibu dan Kak Bayu. Sedangkan Kak Galih, Kak Mitha dan Helena, hanya kuanggap sebagai pelengkap. Orang-orang yang diatas kertas memiliki sertifikat sebagai saudaraku, selebihnya tidak.

Tak ada yang spesial dari keluargaku. Rumahku hanya sebagai simbol tempatku berteduh, dibandingkan dengan rumah untukku pulang. Rumah bagiku lebih tepat digambarkan sebagai tempat penyiksaan emosionalku. Tempatku belajar dan memupuk iri dan dengki.

Maka, saat aku beranjak dewasa dengan mendapat tawaran bagus untuk bekerja di perusahaan Multinasional yang mengharuskanku mutasi ke luar pulau Jawa dikarenakan kecakapan dan kepandaianku, akupun tak harus berpikir panjang. Kuterima tawaran itu seketika itu juga. Dan selang seminggu semenjak perekrutanku, akupun langsung terbang ke pulau seberang, tanpa perlu merasa berat hati.

Aku merasa bebas, lepas dari kecaman iri hatiku.

**

Sebut aku sebagai wanita tangguh yang berkarier cemerlang diusiaku yang tergolong muda ini. Aku berhasil untuk mendaki tangga keberhasilan. Keberhasilanku itu kutunjang dengan penampilanku yang menawan, intelegensi dan sosialisasi yang baik, serta loyalitas yang tinggi. Tak heran kenapa di pulau yang dulunya asing bagiku, aku merasa menemukan tempatku berada.

Aku jarang pulang ke rumah, meski kiriman uang dariku tak pernah absen untuk bertandang ke rumah. Komunikasi dengan keluargakupun kulakukan seperlunya. Saat Kak Galih membutuhkan uang untuk berobat bagi keponakanku dan membantu menyokong pembuatan rumahnya. Saat Kak Mitha memintaku untuk dibelikan perhiasan yang dikenakannya untuk dipamerkan pada sosialista lingkungannya. Dan saat Helena merengek-rengek untuk menggantikan gadget lamanya dengan seri terbaru. Semua komunikasi dari mereka membuatku sangsi, apakah benar mereka menganggap keberadaanku ini sebagai keluarga, ataukan hanya sekedar sapi perah.

Ibukupun sesekali menghubungiku untuk bertanya kabar tentang perkembanganku. Aku sayang ibuku, karena ibuku tak pernah menuntutku untuk ini dan itu. Ibu hanya terus bertanya kapan aku pulang, yang kujawab dengan nanti saat aku mendapat ijin cuti. Kak Bayulah yang lebih sering menelfonku untuk mengomeliku menanyakan keadaanku. Yang sibuk untuk berceloteh bagaimana bangganya dia akan keberhasilanku dan selalu merayuku untuk pulang, melepaskan kerinduan seluruh keluarga. Yang selalu saja tak kugubris.

Aku tak mau pusing memikirkan hal itu. Aku melakukan itu semua tak ada embel-embel apapun. Hanya sebagai tanggung jawabku terhadap orang-orang yang kusebut sebagai saudara. Pepatah yang mengatakan darah lebih kental dari air tak berarti buatku. Karena aku lebih banyak membutuhkan air untuk menunjang kelangsungan hidupku, dari pada sekantong darah yang hanya dijadikan makanan buat nyamuk-nyamuk di sini.

“Rosa, lu ga pernah kangen rumah apa, kok gue liat lu jarang banget mudik,” tanya Densi, sahabat serta rekan kerjaku di sini.

“Memangnya kenapa ?” tanyaku balik. Enggan menjawab dan menjelaskan tentang kondisi keluargaku.

“Ya gue heran aja, betah-betahnya lu bercokol di sini. Emang sich bokin lu disini juga, serta disini lu dapat gejong yang besar dan posisi yang cucok. Tapi apa lu kagak kangen ma suasana rumah ? Gue aja bosannya setengah mati berada di sini, kangen masakan nyokap hehehehe...”

“Bilang aja lu laper, pengen istirahat makan. Gitu aja pake nanya pertanyaan ga penting,” jawabku mencoba mengalihkan pembicaraan.

Aku tak mau masalah keluargaku disinggung-singgung. Malas kalau harus menjelaskan tentang kondisiku. Maka segera kuseret Densi menuju resto fast food di seberang kantor untuk menghentikan celotehan dia tentang keluarga. Aku tidak butuh untuk dikritik mengenai kehidupan pribadiku. Kritik aku mengenai apa yang kukerjakan, maka akan segera kutanggapi kritik itu. Bukan mengenai urusan pribadi keluargaku.

**

Lubang itu menganga lebar, membuatku yang tengah berada di ruang rapat terpaku dan gemetaran. Aku mendapat kabar dari Kak Mitha kalau Kak Bayu dan Kak Galih mendapat kecelakan hebat saat menjemput Helena dari study turnya setelah pulang kerja. Mobil yang dikendarai mereka ditabrak oleh pengendara truk muatan pasir yang mengantuk. Aku tak tahu kondisi mereka seberapa parah. Tetapi dalam hati aku berdoa semoga mereka tidak terluka parah.

Segera aku beranjak dari ruang rapat, meminta ijin cuti pulang. Kantorpun segera memberiku ijin cuti yang tak terbatas sampai dirasa kondisi memungkinkan. Itu merupakan kompensasi dari dedikasiku selama ini, dan aku berterima kasih atas kebijakan tersebut. Akupun segera terbang pulang dengan penerbangan yang paling cepat. Doni, kekasihku juga ikut untuk mendampingiku pulang ke rumah.

Ah, pulang... Akhirnya akupun pulang juga.

Yang tragis dari kepulanganku adalah, aku disambut dengan bendera kuning di depan rumah. Segera akupun berlari untuk mengetahui apa yang terjadi. Dan aku syok saat melihat tiga peti jenasah berjejer rapi di ruang tamu kami dengan dikelilingi oleh banyak orang sanak kerabat yang berkerumun menyolatkan mereka. Kak Mitha langsung berdiri memelukku erat dengan tangisnya yang pecah. Sedangkan ibu kulihat tertidur pingsan di ranjangnya. Doni, berdiri disampingku untuk mengatkanku.

Proses pengebumian jenasah ketiga saudaraku terasa menyesakkanku. Aku bukannya pulang disambut dengan celoteh Helena, tatapan sinis Kak Galih, dan kekonyolan Kak Bayu, tetapi malah disambut dengan pemakaman mereka bertiga. Tampak luar aku terkesan tabah terkontrol menenangkan isak tangis ibu dan Kak Mitha, tetapi jauh dalam hatiku aku merasakan kehilangan yang teramat dalam. Terekam dimemori otakku wajah sendu mereka dalam balutan kain kafan. Menyesakkan...

**

Sudah satu minggu ini aku berada di rumah untuk mentahlilkan Kak Galih, Kak Bayu dan Helena. Sempat aku berbincang dengan ipar dan keponakanku yang sangat berduka. Dari merekalah aku tahu, bahwa diam-diam Kak Galih selalu berceloteh mengenai diriku. Bahkan dari Kak Indri, istri Kak Galih, kudapati bahwa Kak Galih membelikanku seperangkat perhiasan yang ditujukan untuk mas kawin pernikahanku kelak. Dan Kak Galih selalu beradu argumen dengan Kak Bayu, bahwa harus dialah yang akan menjadi wali nikahku.

Sendu, pilu menusuk dadaku...

Di kamar Helena, kutemukan bingkai fotoku bersamanya sesaat sebelum aku pergi ke luar pulau. Satu-satunya foto kami berdua yang diambilnya kala itu. Dibawah foto itu tertulis, “Kakakku, Malaikatku. Bidadari keluarga. Aku sayang kakak.”

Air mataku mulai meleleh. Kudekap foto itu dan kotak perhiasan dari Kak Galih. Ternyata aku begitu dicintai oleh mereka...

“Kak Galih selalu menyanjung-nyanjungmu setinggi langit, Ros. Bahkan saat aku berusaha menjelek-jelekkanmu yang tak pernah pulang, dia selalu membelamu,” suara Kak Mitha didepan pintu kamar Helena menyentakkanku dari setiap kenangan.

“...”

“Dari dulu aku selalu iri denganmu. Dengan kepintaranmu dan juga keberhasilanmu. Tapi jauh dalam hatiku, aku merasa bangga. Karena kamu menjadi tumpuan kami semua. Aku tak bisa membayangkan apa jadinya keluarga kita, tanpa kamu yang selalu bersikap tenang, berfikiran rasional dan selalu menyokong kami semua,” lanjut Kak Mitha yang beranjak duduk disampingku. Merangkulku, mengusap lembut rambutku.

“Kak...”

“Aku juga iri dengan Bayu yang bisa ngobrol denganmu dengan santai dan bercanda ria. Aku juga ingin dekat denganmu. Tapi sepertinya kamu menjaga jarak dengan kami semua. Aku tak menyalahkanmu, karena semasa remajamu kami terlalu sibuk dengan urusan kami masing-masing.”

Pengungkapan itu membuatku tertegun. Kak Mitha yang egois dan mau menang sendiri mengakui hal itu ? Kak Mitha iri denganku ? Kelu lidahku untuk berucap.

“Kami selalu menantikan kabar perkembanganmu di sana. Mendengarkan lewat loudspeaker saat Bayu menelfonmu. Bahagia atas semua prestasi yang kau raih dan khawatir saat mendengar suaramu yang terdengar capek dan apalagi sewaktu kamu sakit. Kami semua menyayangimu. Maafkan kami yang tak bisa mengungkapkan itu semua. Pulanglah, kembali berkumpul bersama kami lagi. Aku tak ingin kehilangan saudara lagi, Ros. Hanya tinggal kita berdua yang harus merawat ibu...”

Dalam tangis pelukannya, aku mengangguk. Menyetujui pinta Kak Mitha tanpa berucap. Adegan haru itu bertambah saat ibu dengan tertatih mendekati berdua. Memeluk kami, seraya memberikan dukungan. Bahkan dalam kerentaannya, masih saja tersirat kekuatan yang selalu menguatkan kami semua.

“Pulanglah, Ros. Ibu rindu...”

Kata-kata yang selalu kutunggu...

**

Disinilah aku sekarang. Dalam nyaman rumahku yang dikelilingi dengan banyak cinta dan perhatian. Aku dan Kak Mitha seperti kembali menjadi remaja. Curhat, bertukar pikiran. Terkikik geli oleh hal sepele, dan saling memahami jalan pikiran masing-masing meski lewat tatapan mata. Kami tak segan lagi untuk saling mengungkapkan rasa sayang kami. Kak Indripun ikut pindah kerumah kami, dengan Dea selalu berceloteh menuntut perhatian dari kami semua yang keasyikan bergosip.

Aku dimutasi di kantor cabang, dekat dari kota kecilku. Dan Donipun ikut mengajukan mutasi ke sini. Menemaniku, menjadi bagian dari keluarga kecilku. Memang gajiku disini jauh lebih sedikit, tetapi itu terbayarkan dengan aku menemukan rumahku tempat bernaung. Senyaman-nyamannya aku hidup di perantauan, tanpa belai kasih dari keluargaku, tak ada artinya sama sekali.

Meskipun aku terlambat untuk mengungkapkan rasa cinta dan sayangku terhadap ketiga almarhum saudaraku, tetapi aku belum terlambat untuk merasakan cinta tulus mereka. Aku menyesali kekeraskepalaanku. Aku menyesali karena aku tak cukup usaha untuk mengenal lebih jauh keluargaku. Terlebih menyesal lagi, aku sempat berfikir bahwa aku tidak membutuhkan mereka. Tidak menyadari bahwa harta yang terbesar yang kumiliki adalah mereka, seluruh keluargaku.

Jangan pernah ragu untuk mengungkapkan rasa sayangmu. Jangan pernah malu untuk menunjukkan seberapa besar kamu mencintainya. Dan jangan pernah menyerah, untuk menjadi yang terbaik untuk orang-orang yang kamu sayangi. Tidak pernah ada kata terlambat untuk itu semua.

Karena saat kamu bersedih, merekalah yang mau mendengarkanmu, menerima setiap keadaanmu. Saat kamu bahagia dan berhasil, merekalah yang akan bangga terhadapnya. Saat kamu sakit, merek yang paling khawatir dan siaga merawatmu. Saat kamu berkeluarga, mekalah yang akan membantumu untuk setiap keperluanmu dan menjadi tempatmu meminta tolong. Dan saat kamu dikebumikan kelak, merekalah yang akan mengkafanimu, terus mendoakanmu di surga.

Cintailah keluargamu, apapun mereka, siapapun mereka dan bagaimanapun kondisi mereka. Jangan menunggu hingga esok untuk menjalin silaturahmi. Karena kamu akan menyesal setelah semuanya terlambat.

Posting Komentar untuk "Keluarga, bagi kebanyakan orang adalah segalanya. Tempat berkeluh kesah, tempat kita bergantung, tempat kita berbagi dan tempat kita untuk pulang. Tempat kita diterima dengan tangan terbuka, apa adanya tanpa kita perlu untuk berpura-pura."

Produk Terlaris di Shopee
Gambar Produk
Anting Titanium Anak | Anti Karat Karat
Rp47.111
BELI SEKARANG
Gambar Produk
VANILLA HOUSE AGHNIA BAG TAS RANSEL
Rp149.000
BELI SEKARANG
Gambar Produk
LEN KULOT CRINKLE AIRFLOW TERLARIS
Rp38.500
BELI SEKARANG
Gambar Produk
Masker KF94 KOREA WARNA ISI 10
Rp2.449
BELI SEKARANG
Gambar Produk
PinkMe - Zirconia Crystal Initial Bracelet | Gelang inisia/span>
150.000
BELI SEKARANG
Gambar Produk
❤ BELIA ❤ SYB NATUR90 Peel Off Mask Goat milk
Rp2.000
BELI SEKARANG
Gambar Produk
Lip Stain | dual function bibir blush on lip
Rp16.300
BELI SEKARANG
Produk Terlaris di Shopee
Gambar Produk
Paris Premium // Segi Empat Paris Polos
Rp18.900
BELI SEKARANG
Gambar Produk
[ COD ] Bella Square 50 Warna Hijab Segiempat
Rp8.400
BELI SEKARANG
Gambar Produk
30+ WARNA (CAMILA) Pashtan Anak Camila
Rp12.999
BELI SEKARANG
Gambar Produk
PASMINA INNER CERUTY BABY DOLL/HIJAB
Rp19.000
BELI SEKARANG
Gambar Produk
Sarung WADIMOR Hitam Putih Polos Tumpal Garis/span>
11.900
BELI SEKARANG
Gambar Produk
OUTER SCARF WANITA PREMIUM MOTIF MOTIF
Rp35.000
BELI SEKARANG
Gambar Produk
MUKENA ADARA KATUN POLOS RENDA BALI JUMBO
Rp99.999
BELI SEKARANG